KEPERAWATAN MATERNITAS
MAKALAH
ASUHAN KEPERAWATAN PADA
KEHAMILAN
EKTOPIK TERGANGGU
DISUSUN
:
ANDRIANA
RAHMANIATI ( 15002 )
LARAS
APRIYANI ( 15023 )
YULITA
UTARI ( 15046 )
PROGRAM
DIPLOMA III
AKADEMI
KEPERAWATAN HARUM JAKARTA
2016/2017
KATA
PENGANTAR
Kami panjatkan puji dan
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan hidayahnya kami
dapat menyusun makalah Keperawatan Maternitas tentang Konsep Persalinan Vacum, Selesainya
penyusunan ini berkat bantuan dari berbagai pihak oleh karena itu, pada
kesempatan ini kami sampaikan terima kasih dan penghargaan yang terhormat:
1. Ibu
Rusmawati Sitorus, S.Pd, S.Kep, MA selaku Direktur Akademi Keperawatan Harum Jakarta.
2. Ibu Ns. Nina Sunarti, S.Kep selaku dosen mata ajar
keperawatan maternitas
3. Ibu Ns. Ari Susiani, S.kep selaku wali kelas tingkat II.
4. Rekan-rekan
semua angkatan XVII Akademi Keperawatan Harum Jakarta.
Kami menyadari bahwa
ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat kami harapkan dan sebagai umpan balik yang positif demi
perbaikan di masa mendatang. Harapan kami semoga makalah ini bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang ilmu Keperawatan.
Akhir kata, kami mengucapkan terima
kasih dan kami berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan.
Jakarta, 15 Maret
2017
Kelompok 2
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR .....................................................................................i
|
|
DAFTAR
ISI ....................................................................................................ii.
|
|
BAB
I PENDAHULUAN
|
|
A.
Latar belakang
...........................................................................1
|
|
B.
Tujuan penulisan
........................................................................2
|
|
C.
Sistematika penulisan
.................................................................3
|
|
BAB
II TINJAUAN TEORITIS
|
|
1.1
Definisi
.............................................,........................................4
|
|
1.2
Etiologi ......................................................................................4
|
|
1.3
Klasifikasi .................................................................................5
|
|
1.4
Patofisiologi kehamilan
tuba........... ..........................................6
|
|
1.5
Manifestasi klinik kehamilan tuba
...........................................7
1.6
Varian-varian kehamilan
ektopik.............................................15
|
|
Asuhan
keperawatan
|
|
2.1 Pengkajian
.....................................................................................17
|
|
2.2 Diagnosa
keperawatan...................................................................19
|
|
2.3 Intervensi
keperawatan .................................................................19
|
|
2.4 Implementasi
keperawatan ..........................................................23
|
|
2.5 Evaluasi
keperawatan ...................................................................23
BAB
IV PENUTUP
3.1 Kesimpulan...................................................................................24
3.2 Saran.............................................................................................25
|
|
DAFTAR
PUSTAKA
|
|
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Kehamilan ektopik adalah salah satu komplikasi kehamilan dimana ovum yang sudah dibuahi menempel di jaringan yang bukan
dinding rahim.
Kehamilan ektopik terganggu (KET) adalah kegawatdaruratan
obstetrik yang mengancam nyawa ibu dan kelangsungan hidup janin, serta
merupakan salah satu penyebab utama mortalitas ibu, khususnya pada trimester
pertama. Karena manifestasinya yang cukup dramatis, sering kali KET dijumpai
terlebih dahulu bukan oleh dokter-dokter ahli kebidanan, melainkan
dokter-dokter yang bekerja di unit gawat darurat, sehingga entitas ini perlu
diketahui oleh setiap dokter. Di masa lampau KET hampir selalu fatal, namun
berkat perkembangan alat diagnostik yang canggih morbiditas maupun mortalitas
akibat KET jauh berkurang. Meskipun demikian, kehamilan ektopik masih merupakan
salah satu masalah utama dalam bidang obstetri. Perkembangan teknologi
fertilitas dan kontrasepsi memang di satu sisi menyelesaikan masalah
infertilitas maupun KB, namun di sisi lain menciptakan masalah baru. Kehamilan
ektopik dapat terjadi sebagai akibat usaha fertilisasi in vitro pada seorang ibu,
dan kehamilan ektopik tersebut dapat menurunkan kesempatan pasangan infertil
yang bersangkutan untuk mendapatkan anak pada usaha berikutnya.
Insidens kehamilan ektopik yang sesungguhnya sulit
ditetapkan. Meskipun secara kuantitatif mortalitas akibat KET berhasil ditekan,
persentase insidens dan prevalensi KET cenderung meningkat dalam dua dekade
ini. Dengan berkembangan alat diagnostik canggih, semakin banyak kehamilan
ektopik yang terdiagnosis sehingga semakin tinggi pula insidens dan
prevalensinya. Keberhasilan kontrasepsi pula meningkatkan persentase kehamilan
ektopik, karena keberhasilan kontrasepsi hanya menurunkan angka terjadinya
kehamilan uterin, bukan kehamilan ektopik. Meningkatnya prevalensi infeksi tuba
juga meningkatkan keterjadian kehamilan ektopik. Selain itu, perkembangan
teknologi di bidang reproduksi, seperti fertilisasi in vitro, ikut
berkontribusi terhadap peningkatan frekuensi kehamilan ektopik. Di Amerika
Serikat, kehamilan ektopik terjadi pada 1 dari 64 hingga 1 dari 241 kehamilan,
dan 85-90% kasus kehamilan ektopik didapatkan pada multigravida.
Masalah yang lain ialah masalah diagnosis. Tidak semua
pusat kesehatan di negara ini mempunyai fasilitas pencitraan, dan dalam
menghadapi pasien yang datang dengan keluhan maupun tanda KET, tidak semua
dokter, terutama primary-care physician, segera memikirkan KET sebagai salah
satu diagnosis banding. Hal ini mengakibatkan keterlambatan diagnosis dan
terapi yang adekuat. Kehamilan ektopik yang belum terganggu juga menjadi
masalah tersendiri, karena seolah-olah menjadi bom waktu dalam tubuh pasien.
Hal ini terjadi bila tidak ada fasilitas diagnostik yang menunjang, seperti
yang terjadi di berbagai daerah rural di Indonesia. Dengan diagnosis yang tepat
dan cepat kesejahteraan ibu, bahkan janin, dapat ditingkatkan.
BAB
II
TINJAUAN
TEORITIS
1.1 Definisi
Istilah ektopik berasal dari bahasa inggris,
ectopic, dengan akar kata dari bahasa yunani, toops yang berarti tempat. Jadi
istilah ektopik dapat diartikan “ berada diluar tempat yang semestinya” apabila
pada kehamilan ektopik terjadi abortus atau pecah, dalam hal ini dapat
berbahaya bagi wanita hamil tersebut maka kehamilan ini disebut kehamilan
ektopik terganggu.
Kehamilan ektopik adalah kehamilan dengan
implantasi terjadi diluar rongga uterus, tuba falopi merupakan tempat tersering
untuk terjadinya implantasi kehamilan ektopik, sebagian besar terjadi kehamilan
ektopik berlokasi di tuba, jarang terjadi implantasi pada ovarium, rongga
perut, kanalis servikalis uteri, tanduk uterus yang rudimenter dan divertikel
pada uterus ( Sarwono Prawiroharjo,2005 ).
Suatu kehamilan disebut kehamilan ektopik bila zigot
terimplantasi di lokasi-lokasi selain cavum uteri, seperti di ovarium, tuba,
serviks, bahkan rongga abdomen. Istilah kehamilan ektopik terganggu (KET)
merujuk pada keadaan di mana timbul gangguan pada kehamilan tersebut sehingga
terjadi abortus maupun ruptur yang menyebabkan penurunan keadaan umum pasien.
1.2 Etiologi
Kehamilan ektopik pada dasarnya disebabkan segala hal
yang menghambat perjalanan zigot menuju kavum uteri. Faktor-faktor mekanis yang
menyebabkan kehamilan ektopik antara lain: riwayat operasi tuba, salpingitis,
perlekatan tuba akibat operasi non-ginekologis seperti apendektomi, pajanan
terhadap diethylstilbestrol, salpingitis isthmica nodosum
(penonjolan-penonjolan kecil ke dalam lumen tuba yang menyerupai divertikula),
dan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR). Hal-hal tersebut secara umum
menyebabkan perlengketan intra- maupun ekstraluminal pada tuba, sehingga
menghambat perjalanan zigot menuju kavum uteri. Selain itu ada pula
faktor-faktor fungsional, yaitu perubahan motilitas tuba yang berhubungan
dengan faktor hormonal dan defek fase luteal. Dalam hal ini gerakan peristalsis
tuba menjadi lamban, sehingga implantasi zigot terjadi sebelum zigot mencapai
kavum uteri. Dikatakan juga bahwa meningkatnya usia ibu akan diiringi dengan
penurunan aktivitas mioelektrik tuba. Teknik-teknik reproduktif seperti gamete
intrafallopian transfer dan fertilisasi in vitro juga sering menyebabkan
implantasi ekstrauterin. Ligasi tuba yang tidak sempurna memungkinkan sperma
untuk melewati bagian tuba yang sempit, namun ovum yang telah dibuahi sering
kali tidak dapat melewati bagian tersebut. Alat kontrasepsi dalam rahim selama
ini dianggap sebagai penyebab kehamilan ektopik. Namun ternyata hanya AKDR yang
mengandung progesteron yang meningkatkan frekuensi kehamilan ektopik. AKDR
tanpa progesteron tidak meningkatkan risiko kehamilan ektopik, tetapi bila
terjadi kehamilan pada wanita yang menggunakan AKDR, besar kemungkinan
kehamilan tersebut adalah kehamilan ektopik.
1.3 Klasifikasi
Sarwono Prawirohardjo dan Cuningham masing-masing dalam bukunya
mengklasifikasikan kehamilan ektopik berdasarkan lokasinya antara lain :
1.
Tuba
falopi
a.
Pars-intersistisialis
b.
Isthmus
c.
Ampula
d.
Infudibulum
e.
Fimbrae
2.
Uterus
a.
Kanalis
servikalis
b.
Divertikulum
c.
Kornu
d.
Tanduk
rudimenter
3.
Ovarium
4.
Intraligamenter
5.
Abdominal
a.
Primer
b.
Sekunder
6.
Kombinasi
kehamilan dalam dan luar uterus
1.4 Patofisiologi Kehamilan Tuba
Tempat-tempat implantasi kehamilan ektopik antara lain
ampulla tuba (lokasi tersering), isthmus, fimbriae, pars interstitialis, kornu
uteri, ovarium, rongga abdomen, serviks dan ligamentum kardinal. Zigot dapat
berimplantasi tepat pada sel kolumnar tuba maupun secara interkolumnar. Pada
keadaan yang pertama, zigot melekat pada ujung atau sisi jonjot endosalping
yang relatif sedikit mendapat suplai darah, sehingga zigot mati dan kemudian
diresorbsi. Pada implantasi interkolumnar, zigot menempel di antara dua jonjot.
Zigot yang telah bernidasi kemudian tertutup oleh jaringan endosalping yang
menyerupai desidua, yang disebut pseudokapsul. Villi korialis dengan mudah
menembus endosalping dan mencapai lapisan miosalping dengan merusak integritas
pembuluh darah di tempat tersebut. Selanjutnya, hasil konsepsi berkembang, dan
perkembangannya tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tempat
implantasi, ketebalan tempat implantasi dan banyaknya perdarahan akibat invasi
trofoblas.
Seperti kehamilan normal, uterus pada kehamilan ektopik
pun mengalami hipertrofi akibat pengaruh hormon estrogen dan progesteron,
sehingga tanda-tanda kehamilan seperti tanda Hegar dan Chadwick pun ditemukan.
Endometrium pun berubah menjadi desidua, meskipun tanpa trofoblas. Sel-sel
epitel endometrium menjadi hipertrofik, hiperkromatik, intinya menjadi lobular
dan sitoplasmanya bervakuol. Perubahan selular demikian disebut sebagai reaksi
Arias-Stella.
Karena tempat implantasi pada kehamilan ektopik tidak
ideal untuk berlangsungnya kehamilan, suatu saat kehamilan ektopik tersebut
akan terkompromi. Kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi pada kehamilan
ektopik adalah: 1) hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi, 2) abortus ke dalam
lumen tuba, dan 3) ruptur dinding tuba.
Abortus ke dalam lumen tuba lebih sering terjadi pada
kehamilan pars ampullaris, sedangkan ruptur lebih sering terjadi pada kehamilan
pars isthmica. Pada abortus tuba, bila pelepasan hasil konsepsi tidak sempurna
atau tuntas, maka perdarahan akan terus berlangsung. Bila perdarahan terjadi
sedikit demi sedikit, terbentuklah mola kruenta. Tuba akan membesar dan
kebiruan (hematosalping), dan darah akan mengalir melalui ostium tuba ke dalam
rongga abdomen hingga berkumpul di kavum Douglas dan membentuk hematokel
retrouterina.
Pada kehamilan di pars isthmica, umumnya ruptur tuba
terjadi lebih awal, karena pars isthmica adalah bagian tuba yang paling sempit.
Pada kehamilan di pars interstitialis ruptur terjadi lebih lambat (8-16 minggu)
karena lokasi tersebut berada di dalam kavum uteri yang lebih akomodatif,
sehingga sering kali kehamilan pars interstitialis disangka sebagai kehamilan
intrauterin biasa. Perdarahan yang terjadi pada kehamilan pars interstitialis
cepat berakibat fatal karena suplai darah berasal dari arteri uterina dan
ovarika. Oleh sebab itu kehamilan pars interstitialis adalah kehamilan ektopik
dengan angka mortalitas tertinggi. Kerusakan yang melibatkan kavum uteri cukup
besar sehingga histerektomi pun diindikasikan. Ruptur, baik pada kehamilan
fimbriae, ampulla, isthmus maupun pars interstitialis, dapat terjadi secara
spontan maupun akibat trauma ringan, seperti koitus dan pemeriksaan vaginal.
Bila setelah ruptur janin terekspulsi ke luar lumen tuba, masih terbungkus
selaput amnion dan dengan plasenta yang masih utuh, maka kehamilan dapat
berlanjut di rongga abdomen. Untuk memenuhi kebutuhan janin, plasenta dari tuba
akan meluaskan implantasinya ke jaringan sekitarnya, seperti uterus, usus dan
ligamen.
1.5 Manifestasi Klinik Kehamilan Tuba
Gejala Subjektif
Sebagian besar pasien merasakan nyeri abdomen,
keterlambatan menstruasi dan perdarahan per vaginam. Nyeri yang diakibatkan
ruptur tuba berintensitas tinggi dan terjadi secara tiba-tiba. Penderita dapat
jatuh pingsan dan syok. Nyeri akibat abortus tuba tidak sehebat nyeri akibat
ruptur tuba, dan tidak terus-menerus. Pada awalnya nyeri terdapat pada satu
sisi, tetapi setelah darah masuk ke rongga abdomen dan merangsang peritoneum,
nyeri menjadi menyeluruh. Perdarahan per vaginam berasal dari pelepasan desidua
dari kavum uteri dan dari abortus tuba. Umumnya perdarahan tidak banyak dan
berwarna coklat tua. Keterlambatan menstruasi tergantung pada usia gestasi.
Penderita mungkin tidak menyangka bahwa dirinya hamil, atau menyangka dirinya
hamil normal, atau mengalami keguguran (abortus tuba). Sebagian penderita tidak
mengeluhkan keterlambatan haid karena kematian janin terjadi sebelum haid
berikutnya. Kadang-kadang pasien merasakan nyeri yang menjalar ke bahu. Hal ini
disebabkan iritasi diafragma oleh hemoperitoneum.
Temuan objektif
Pada kasus-kasus yang dramatis, sering kali pasien datang
dalam keadaan umum yang buruk karena syok. Tekanan darah turun dan frekuensi
nadi meningkat. Darah yang masuk ke dalam rongga abdomen akan merangsang
peritoneum, sehingga pada pasien ditemukan tanda-tanda rangsangan peritoneal
(nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas, defense musculaire). Bila perdarahan
berlangsung lamban dan gradual, dapat dijumpai tanda anemia pada pasien.
Hematosalping akan teraba sebagai tumor di sebelah uterus. Dengan adanya
hematokel retrouterina, kavum Douglas teraba menonjol dan nyeri pada pergerakan
(nyeri goyang porsio). Di samping itu dapat ditemukan tanda-tanda kehamilan,
seperti pembesaran uterus.
Diagnosis
Diagnosis kehamilan ektopik terganggu tentunya ditegakkan
dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. KET harus
dipikirkan bila seorang pasien dalam usia reproduktif mengeluhkan nyeri perut
bawah yang hebat dan tiba-tiba, ataupun nyeri perut bawah yang gradual,
disertai keluhan perdarahan per vaginam setelah keterlambatan haid, dan pada
pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda akut abdomen, kavum Douglas menonjol,
nyeri goyang porsio, atau massa di samping uterus. Adanya riwayat penggunaan
AKDR, infeksi alat kandungan, penggunaan pil kontrasepsi progesteron dan
riwayat operasi tuba serta riwayat faktor-faktor risiko lainnya memperkuat
dugaan KET. Namun sebagian besar pasien menyangkal adanya faktor-faktor risiko
tersebut di atas.
Bila pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan kantong
gestasi dengan denyut jantung janin dengan kavum uteri yang kosong, maka
diagnosis pasti dapat ditegakkan. USG transvaginal dapat mendeteksi tubal ring
(massa berdiameter 1-3 cm dengan pinggir ekhogenik yang mengelilingi pusat yang
hipoekhoik); gambaran tersebut cukup spesifik untuk kehamilan ektopik. USG
transvaginal juga memungkinkan evaluasi kavum pelvis dengan lebih baik,
termasuk visualisasi cairan di kavum Douglas dan massa pelvis.
Kadar hCG membantu penegakan diagnosis, meskipun tidak
ada konsensus mengenai kadar hCG yang sugestif untuk kehamilan ektopik.
Kehamilan ektopik dapat dibedakan dari kehamilan normal dengan pemeriksaan
kadar hCG secara serial. Pada usia gestasi 6-7 minggu, kadar hCG serum
meningkat dua kali lipat setiap 48 jam pada kehamilan intrauterin normal.
Peningkatan yang subnormal (< 66%) dijumpai pada 85% kehamilan yang
nonviable, dan peningkatan sebanyak 20% sangat prediktif untuk kehamilan nonviable.
Fenomena ini, bila disertai dengan terdeteksinya kavum uteri yang kosong,
mengindikasikan adanya kehamilan ektopik. Secara klinis, penegakan diagnosis
KET dengan pemantauan kadar hCG serial tidak praktis, karena dapat
mengakibatkan keterlambatan diagnosis. Selain itu, peningkatan kadar hCG serum
dua kali lipat setiap 48 jam tidak lagi terjadi setelah minggu ke-7 kehamilan.
Oleh sebab itu, umumnya yang diperiksakan adalah hCG kualitatif untuk diagnosis
cepat kehamilan.
Dengan adanya USG dan pemeriksaan kadar hCG yang lebih
akurat, kuldosentesis sudah tidak terlalu sering dilakukan. Meskipun demikian,
tindakan tersebut masih dilakukan bila tidak ada fasilitas USG atau bila pada
pemeriksaan USG kantong gestasi tidak berhasil terdeteksi.
Kadar progesteron pada kehamilan nonviable memang
menurun, namun penurunan kadar progesteron tersebut tidak dapat membedakan
kehamilan ektopik dari abortus insipiens.
Diagnosis juga dapat ditegakkan secara bedah (surgical
diagnosis). Kuretase dapat dikerjakan untuk membedakan kehamilan ektopik dari
abortus insipiens atau abortus inkomplet. Kuretase tersebut dianjurkan pada
kasus-kasus di mana timbul kesulitan membedakan abortus dari kehamilan ektopik
dengan kadar progesteron serum di bawah 5 ng/ml, β-hCG meningkat abnormal (<
2000 mU/mL) dan kehamilan uterin tidak terdeteksi dengan USG transvaginal.
Diagnosis secara bedah juga dapat dilakukan dengan laparoskopi dan laparotomi.
Laparotomi umumnya dikerjakan bila keadaan hemodinamik pasien tidak stabil.
Diagnosis Banding
Keadaan-keadaan patologis baik di dalam maupun di luar
bidang obstetri-ginekologi perlu dipikirkan sebagai diagnosis banding KET.
Kelainan bidang obstetri-ginekologi yang didiagnosis banding dengan KET antara
lain abortus, kista ovarii terpuntir, perdarahan uterin disfungsional,
endometriosis, salpingitis, ruptur kista luteal dan penyakit trofoblastik
gestasional. Penyakit di luar bidang obstetri-ginekologi yang manifestasinya
menyerupai KET adalah apendisitis.
Penatalaksanaan Kehamilan Tuba
Penatalaksanaan kehamilan ektopik tergantung pada
beberapa hal, antara lain lokasi kehamilan dan tampilan klinis. Sebagai contoh,
penatalaksanaan kehamilan tuba berbeda dari penatalaksanaan kehamilan
abdominal. Selain itu, perlu dibedakan pula penatalaksanaan kehamilan ektopik yang
belum terganggu dari kehamilan ektopik terganggu. Tentunya penatalaksanaan
pasien dengan kehamilan ektopik yang belum terganggu berbeda dengan
penatalaksanaan pasien dengan kehamilan ektopik terganggu yang menyebabkan
syok.
Seorang pasien yang terdiagnosis dengan kehamilan tuba
dan masih dalam kondisi baik dan tenang, memiliki 3 pilihan, yaitu
penatalaksanaan ekspektasi (expectant management), penatalaksanaan medis dan
penatalaksanaan bedah.
Penatalaksanaan
Ekspektasi
Penatalaksanaan ekspektasi didasarkan pada fakta bahwa
sekitar 75% pasien -hCG. Padabdengan kehamilan ektopik akan mengalami penurunan
kadar -hCG yangbpenatalaksanaan ekspektasi, kehamilan ektopik dini
dengan kadar stabil atau cenderung turun diobservasi ketat. Oleh sebab
itu, tidak semua pasien dengan kehamilan ektopik dapat menjalani
penatalaksanaan seperti ini. Penatalaksanaan ekspektasi dibatasi pada
keadaan-keadaan berikut: 1) kehamilan -hCG yang menurun, 2) kehamilan tuba, 3)
tidak adabektopik dengan kadar perdarahan intraabdominal atau ruptur,
dan 4) diameter massa ektopik tidak -hCG awal harus kurangbmelebihi 3.5 cm.
Sumber lain menyebutkan bahwa kadar dari 1000 mIU/mL, dan diameter massa
ektopik tidak melebihi 3.0 cm. Dikatakan bahwa penatalaksanaan ekspektasi ini
efektif pada 47-82% kehamilan tuba.
Penatalaksanaan Medis
Pada penatalaksanaan medis digunakan zat-zat yang dapat
merusak integritas jaringan dan sel hasil konsepsi. Kandidat-kandidat penerima
tatalaksana medis harus memiliki syarat-syarat berikut ini: keadaan hemodinamik
yang stabil, bebas nyeri perut bawah, tidak ada aktivitas jantung janin, tidak
ada cairan bebas dalam rongga abdomen dan kavum Douglas, harus teratur
menjalani terapi, harus menggunakan kontrasepsi yang efektif selama 3-4 bulan
pascaterapi, tidak memiliki penyakit-penyakit penyerta, sedang tidak menyusui,
tidak ada kehamilan intrauterin yang koeksis, memiliki fungsi ginjal, hepar dan
profil darah yang normal, serta tidak memiliki kontraindikasi terhadap
pemberian methotrexate. Berikut ini akan dibahas beberapa metode terminasi
kehamilan ektopik secara medis.
a.
Methotrexate
Methotrexate adalah obat sitotoksik yang sering digunakan
untuk terapi keganasan, termasuk penyakit trofoblastik ganas. Pada penyakit
trofoblastik, methotrexate akan merusak sel-sel trofoblas, dan bila diberikan
pada pasien dengan kehamilan ektopik, methotrexate diharapkan dapat merusak
sel-sel trofoblas sehingga menyebabkan terminasi kehamilan tersebut. Seperti
halnya dengan penatalaksanaan medis untuk kehamilan ektopik pada umumnya,
kandidat-kandidat untuk terapi methotrexate harus stabil secara hemodinamis
dengan fungsi ginjal, hepar dan profil darah yang normal. Harus diketahui pula
bahwa terapi methotrexate maupun medis secara umum mempunyai angka kegagalan
sebesar 5-10%, dan angka kegagalan meningkat pada usia gestasi di atas 6 minggu
atau bila massa hasil konsepsi berdiameter lebih dari 4 cm. Pasien harus
diinformasikan bahwa bila terjadi kegagalan terapi medis, pengulangan terapi
diperlukan, dan pasien harus dipersiapkan untuk kemungkinan menjalani
pembedahan. Selain itu, tanda-tanda kehamilan ektopik terganggu harus selalu
diwaspadai. Bila hal tersebut terjadi, pasien harus sesegera mungkin menjalani
pembedahan. Senggama dan konsumsi asam folat juga dilarang. Tentunya
methotrexate menyebabkan beberapa efek samping yang harus diantisipasi, antara
lain gangguan fungsi hepar, stomatitis, gastroenteritis dan depresi sumsum
tulang. Beberapa prediktor keberhasilan terapi dengan methotrexate yang -hCG,
progesteron, aktivitasbdisebutkan dalam literatur antara lain kadarÂ
jantung janin, ukuran massa hasil konsepsi dan ada/tidaknya cairan bebas dalam
rongga peritoneum. Namun disebutkan dalam sumber lain bahwa hanya kadar
-hCG-lah yang bermakna secara statistik. Untuk memantau keberhasilan terapi,b
-hCG serial dibutuhkan. Pada hari-hari pertama setelah dimulainyabpemeriksaanÂ
pemberian methotrexate, 65-75% pasien akan mengalami nyeri abdomen yang
diakibatkan pemisahan hasil konsepsi dari tempat implantasinya (separation
pain), dan hematoma yang meregangkan dinding tuba. Nyeri ini dapat diatasi -hCG
umumnya tidak terdeteksi lagi dalam 14-21bdengan analgetik nonsteroidal.Â
hari setelah pemberian methotrexate. Pada hari-hari pertama pula massa hasil
konsepsi akan tampak membesar pada pencitraan ultrasonografi akibat edema dan
hematoma, sehingga jangan dianggap sebagai kegagalan terapi. Setelah terapi
-hCG masih perlu diawasi setiap minggunya hingga kadarnya dibberhasil,
kadar bawah 5 mIU/mL.
Methotrexate dapat diberikan dalam dosis tunggal maupun
dosis multipel. Dosis tunggal yang diberikan adalah 50 mg/m2 (intramuskular),
sedangkan dosis multipel yang diberikan adalah sebesar 1 mg/kg (intramuskular)
pada hari pertama, ke-3, 5, dan hari ke-7. Pada terapi dengan dosis multipel
leukovorin ditambahkan ke dalam regimen pengobatan dengan dosis 0.1 mg/kg
(intramuskular), dan diberikan pada hari ke-2, 4, 6 dan 8. Terapi methotrexate
dosis multipel tampaknya memberikan efek negatif pada patensi tuba dibandingkan
dengan terapi methotrexate dosis tunggal 9. Methotrexate dapat pula diberikan
melalui injeksi per laparoskopi tepat ke dalam massa hasil konsepsi. Terapi
methotrexate dosis tunggal adalah modalitas terapeutik paling ekonomis untuk
kehamilan ektopik yang belum terganggu.
b.
Actinomycin
Neary dan Rose melaporkan bahwa pemberian actinomycin
intravena selama 5 hari berhasil menterminasi kehamilan ektopik pada
pasien-pasien dengan kegagalan terapi methotrexate sebelumnya.
c.
Larutan
Glukosa Hiperosmolar
Injeksi larutan glukosa hiperosmolar per laparoskopi juga
merupakan alternatif terapi medis kehamilan tuba yang belum terganggu. Yeko dan
kawan-kawan melaporkan keberhasilan injeksi larutan glukosa hiperosmolar dalam
menterminasi kehamilan tuba. Namun pada umumnya injeksi methotrexate tetap
lebih unggul. Selain itu, angka kegagalan dengan terapi injeksi larutan glukosa
tersebut cukup tinggi, sehingga alternatif ini jarang digunakan.
Penatalaksanaan Bedah
Penatalaksanaan bedah dapat dikerjakan pada pasien-pasien
dengan kehamilan tuba yang belum terganggu maupun yang sudah terganggu. Tentu
saja pada kehamilan ektopik terganggu, pembedahan harus dilakukan secepat
mungkin. Pada dasarnya ada 2 macam pembedahan untuk menterminasi kehamilan
tuba, yaitu pembedahan konservatif, di mana integritas tuba dipertahankan, dan
pembedahan radikal, di mana salpingektomi dilakukan. Pembedahan konservatif
mencakup 2 teknik yang kita kenal sebagai salpingostomi dan salpingotomi.
Selain itu, macam-macam pembedahan tersebut di atas dapat dilakukan melalui
laparotomi maupun laparoskopi. Namun bila pasien jatuh ke dalam syok atau tidak
stabil, maka tidak ada tempat bagi pembedahan per laparoskopi.
d.
Salpingostomi
Salpingostomi adalah suatu prosedur untuk mengangkat
hasil konsepsi yang berdiameter kurang dari 2 cm dan berlokasi di sepertiga
distal tuba fallopii. Pada prosedur ini dibuat insisi linear sepanjang 10-15 mm
pada tuba tepat di atas hasil konsepsi, di perbatasan antimesenterik. Setelah
insisi hasil konsepsi segera terekspos dan kemudian dikeluarkan dengan
hati-hati. Perdarahan yang terjadi umumnya sedikit dan dapat dikendalikan
dengan elektrokauter. Insisi kemudian dibiarkan terbuka (tidak dijahit kembali)
untuk sembuh per sekundam. Prosedur ini dapat dilakukan dengan laparotomi
maupun laparoskopi. Metode per laparoskopi saat ini menjadi gold standard untuk
kehamilan tuba yang belum terganggu. Sebuah penelitian di Israel membandingkan
salpingostomi per laparoskopi dengan injeksi methotrexate per laparoskopi.
Durasi pembedahan pada grup salpingostomi lebih lama daripada durasi pembedahan
pada grup methotrexate, namun grup salpingostomi menjalani masa rawat inap yang
lebih singkat dan insidens aktivitas trofoblastik persisten pada grup ini lebih
rendah. Meskipun demikian angka keberhasilan terminasi kehamilan tuba dan angka
kehamilan intrauterine setelah kehamilan tuba pada kedua grup tidak berbeda
secara bermakna.
e.
Salpingotomi
Pada dasarnya prosedur ini sama dengan salpingostomi,
kecuali bahwa pada salpingotomi insisi dijahit kembali. Beberapa literatur
menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna dalam hal prognosis, patensi dan
perlekatan tuba pascaoperatif antara salpingostomi dan salpingotomi.
Salpingektomi
Reseksi tuba dapat dikerjakan baik pada kehamilan tuba
yang belum maupun yang sudah terganggu, dan dapat dilakukan melalui laparotomi
maupun laparoskopi. Salpingektomi diindikasikan pada keadaan-keadaan berikut
ini: 1) kehamilan ektopik mengalami ruptur (terganggu), 2) pasien tidak
menginginkan fertilitas pascaoperatif, 3) terjadi kegagalan sterilisasi, 4)
telah dilakukan rekonstruksi atau manipulasi tuba sebelumnya, 5) pasien meminta
dilakukan sterilisasi, 6) perdarahan berlanjut pascasalpingotomi, 7) kehamilan
tuba berulang, 8) kehamilan heterotopik, dan 9) massa gestasi berdiameter lebih
dari 5 cm. Reseksi massa hasil konsepsi dan anastomosis tuba kadang-kadang
dilakukan pada kehamilan pars ismika yang belum terganggu. Metode ini lebih
dipilih daripada salpingostomi, sebab salpingostomi dapat menyebabkan jaringan
parut dan penyempitan lumen pars ismika yang sebenarnya sudah sempit. Pada
kehamilan pars interstitialis, sering kali dilakukan pula histerektomi untuk
menghentikan perdarahan masif yang terjadi. Pada salpingektomi, bagian tuba
antara uterus dan massa hasil konsepsi diklem, digunting, dan kemudian sisanya
(stump) diikat dengan jahitan ligasi. Arteria tuboovarika diligasi, sedangkan
arteria uteroovarika dipertahankan. Tuba yang direseksi dipisahkan dari
mesosalping.
f.
Evakuasi
Fimbrae dan Fimbraektomi
Bila terjadi kehamilan di fimbrae, massa hasil konsepsi
dapat dievakuasi dari fimbrae tanpa melakukan fimbraektomi. Dengan menyemburkan
cairan di bawah tekanan dengan alat aquadisektor atau spuit, massa hasil
konsepsi dapat terdorong dan lepas dari implantasinya. Fimbraektomi dikerjakan
bila massa hasil konsepsi berdiameter cukup besar sehingga tidak dapat
diekspulsi dengan cairan bertekanan.
1.6 Varian-varian
kehamilan ektopik
Kehamilan Abdominal
Hampir semua kasus kehamilan abdominal merupakan kehamilan ektopik
sekunder akibat ruptur atau aborsi kehamilan tuba atau ovarium ke dalam rongga
abdomen. Implantasi primer di dalam rongga abdomen amatlah jarang. Mortalitas
akibat kehamilan abdominal tujuh kali lebih tinggi daripada kehamilan tuba, dan
90 kali lebih tinggi daripada kehamilan intrauterin. Morbiditas maternal dapat
disebabkan perdarahan, infeksi, anemia, koagulasi intravaskular diseminata (DIC),
emboli paru atau terbentuknya fistula antara kantong amnion dengan usus. Pada
kehamilan abdominal yang khas, plasenta yang telah menembus dinding tuba secara
bertahap membuat perlekatan baru dengan jaringan serosa di sekitarnya, namun
juga mempertahankan perlekatannya dengan tuba. Pada beberapa kasus, setelah
ruptur tuba plasenta mengadakan implantasi di tempat yang terpisah dari tuba
dalam rongga abdomen. Kehamilan abdominal dapat juga terjadi akibat ruptur
bekas insisi seksio sesaria, dan pada kasus ini kehamilan berlanjut di balik
plika vesikouterina. Diagnosis kehamilan abdominal berawal dari indeks
kecurigaan yang tinggi. Temuan-temuan ultrasonografik berikut, meskipun tidak
patognomonis, harus segera membuat kita berpikir akan suatu kehamilan abdominal:
1. tidak tampaknya dinding uterus antara
kandung kemih dengan janin,
2. plasenta terletak di luar uterus,
3. bagian-bagian janin dekat dengan
dinding abdomen ibu,
4. letak janin abnormal, dan
5. tidak ada cairan amnion antara
plasenta dan janin. MRI dan CT-scan dapat memberikan visualisasi yang jauh
lebih baik daripada USG.
Kehamilan ekstrauterin lanjut memiliki peluang kelahiran hidup sebesar
10-25%, namun angka malformasi kongenital pada bayi ekstrauterin cukup tinggi
akibat oligohidramnios, dan hanya 50%-nya dapat bertahan hidup lebih dari satu
minggu. Kelainan kongenital yang ditemukan umumnya berupa abnormalitas wajah,
kranium dan ekstremitas. Kehamilan abdominal pula memberikan ancaman-ancaman
kesehatan bagi si ibu. Oleh sebab itu, terminasi sedini mungkin sangat
dianjurkan. Janin yang mati namun terlalu besar untuk diresorbsi dapat
mengalami proses supurasi, mumifikasi atau kalsifikasi. Karena letak janin yang
sangat dekat dengan traktus gastrointestinal, bakteri dengan mudah mencapai
janin dan berkembang biak dengan subur. Selanjutnya, janin akan mengalami
supurasi, terbentuk abses, dan abses tersebut dapat ruptur sehingga terjadi
peritonitis. Bagian-bagian janin pun dapat merusak organ-organ ibu di
sekitarnya. Pada satu atau dua kasus yang telah dilaporkan, janin yang mati
mengalami proses mumifikasi, menjadi lithopedion, dan menetap dalam rongga
abdomen selama lebih dari 15 tahun. Penanganan kehamilan abdominal sangat
berisiko tinggi. Penyulit utama adalah perdarahan yang disebabkan
ketidakmampuan tempat implantasi plasenta untuk mengadakan vasokonstriksi
seperti miometrium. Sebelum operasi, cairan resusitasi dan darah harus
tersedia, dan pada pasien harus terpasang minimal dua jalur intravena yang
cukup besar. Pengangkatan plasenta membawa masalah tersendiri pula. Plasenta
boleh diangkat hanya jika pembuluh darah yang mendarahi implantasi plasenta
tersebut dapat diidentifikasi dan diligasi. Karena hal tersebut tidak selalu
dapat dilaksanakan, dan lepasnya plasenta sering mengakibatkan perdarahan
hebat, umumnya plasenta ditinggalkan in situ. Pada sebuah laporan kasus,
plasenta yang lepas sebagian terpaksa dijahit kembali karena perdarahan tidak
dapat dihentikan dengan berbagai macam manuver hemostasis. Dengan ditinggalkan
in situ, plasenta diharapkan mengalami regresi dalam 4 bulan.
Komplikasi-komplikasi yang sering terjadi adalah ileus, peritonitis,
pembentukan abses intraabdomen dan infeksi organ-organ sekitar plasenta, serta
preeklamsia persisten. Regresi plasenta dimonitor dengan -hCG serum. Pemberianbpencitraan
ultrasonografi dan pengukuran kadar methotrexate untuk mempercepat
involusi plasenta tidak dianjurkan, karena degradasi jaringan plasenta yang
terlalu cepat akan menyebabkan akumulasi jaringan nekrotik, yang selanjutnya
dapat mengakibatkan sepsis. Embolisasi per angiografi arteri-arteri yang
mendarahi tempat implantasi plasenta adalah sebuah alternatif yang baik.
ASUHAN
KEPERAWATAN KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU
2.1 pengkajian
1.
anamnesa
dan gejala klinis
1.
riwayat
terlambat haid
2.
gejala
dan tanda kehamilan muda
3.
dapat
ada atau tidak ada perdarahan per vaginan
4.
terdapat
aminore
5.
adanya
nyeri mendadak disertai rasa nyeri bahu dan seluruh abdomen, terutama abdomen
bagian kanan/ kiri bawah
6.
berat
atau ringannya nyeri tergantung pada banyaknya darah yang terkumpul dalam
peritoneum.
2.
Pemeriksaa
fisik
a.
Inspeksi
1.
Mulut :
bibir pucat
2.
Payudara
: hyperpigmentasi, hipervaskularisasi, simetris
3.
Abdomen
: pembesaran abdomen
4.
Genitalia
: terdapat perdarahan pervaginam
5.
Ekstermitas
: dingin
b.
Palpasi
1.
Abdomen
: uterus teraba, lembek, TFU lebih kecil daripada UK, nyeri tekan, perut teraba
tegang, messa pada adnexa.
2.
Genetalia
: nyeri goyang porsio, kavum douglas menonjol
c.
Auskultasi
1.
Abdomen
: bising usus ( + ), DJJ( - )
d.
Perkusi
1.
Ekstermitas
: reflek patella +/+
Pemeriksaan
fisik umum
1.
Pasien
tampak anemsis dan sakit
2.
Didapatkan
rahim yang juga membesar, adanya tumor di daerah adneksa
3.
Kesadaran
bervariasi dari baik sampai koma tidak sadar
4.
Daerah
ujung (ekstermitas) dingin
5.
Adanya
tanda-tanda syok hipovolemik, yaitu hipotensi, pucat, adanya tanda-tanda
abdommen akut yaitu perut tegang bagian bawah, nyeri tekan dan nyeri nyeri
lepas dinding abdomen.
6.
Pemeriksa
nadi meningkat, tekanan darah menurun sampai syok
7.
Pemeriksaan
abdomen : perut kembung, terdapat cairan bebas darah, nyeri saat perabaan.
Pemeriksaan khusus :
1.
Nyeri
goyang pada pemeriksaan serviks
2.
Kavum
douglas menonjol dan nyeri
3.
Mungkin
terasa tumor disamping uterus
4.
Pada
hematokel tumor dan uterus sulit dibedakan
5.
Pemeriksaan
ginekologis : serviks teraba lunak, nyeri tekan, nyeri pada uteris kanan dan
kiri
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan air seni dapat dilakukan untuk
mengetahui kehamilan seseorang, sdangkan untuk mengetahui kehamilan ektopik
seseorang dokter dapat melakukan :
a.
Laboratorium
1.
Hematokrit
Tergantung pada populasi dan derajat perdarahan abdominal yang terjadi.
2.
Sel
darah putih sangat bervariasi dan tak jarang terlihat adanya leukositosis.
3.
Tes
kehamilan
Pada kehamilan ektopik hampir 100% menunjukan pemeriksaan β-hCG positif.
b.
Pemeriksaan
penunjang/ khusus
1.
Setelah
24 jam dan jumlah sel darah meningkat
2.
Pemeriksaan
ultrosonografi (USG )
Pemeriksaan ini dapat menggambarkan isi dari rahim seseorang wanita.
Pemeriksaan USG dapat melihat dimana lokasi kehamilan seseorang, baik di rahim,
saluran tuba, indung telur, maupun di tempat lain.
2.2 Diagnosa keperawatan
Kemungkinan
diagnosis keperawatan yang muncul adalah sebagai berikut :
1.
Devisit
volume cairan yang berhubungan dengan ruptur pada lokasi implantasi sebagai
efek tindakan pembedahan.
2.
Perubahan
perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang diperlukan
untuk pengiriman nutrient ke sel.
3.
Nyeri
yang berhubungan dengan ruptur tuba falopi, perdarahan intraperitonial.
4.
Kurangnya
pengetahuan yang berhubungan dengan kurang pemahaman atau tidak mengenal
sumber-sumber informasi.
2.3 Intervensi
keperawatan
a.
Devisit
volume cairan yang berhubungan dengan ruptur pada lokasi implementasi sebagai
efek tindakan pembedahan
Kriteria hasil :
Ibu menunjukan kkestabilan/ perbaikan keseimbangan cairan yang buktikan
oleh tanda-tanda vital yang stabil, pengisian kapiler cepat, sensorium tepat,
serta frekuensi berat jenis urine adekuat.
Rencana intervensi
1.
Lakukan
pendekatan kepada pasien dan keluarga
Rasional
Pasien
dan keluarga lebih kooperatif
Rencana intervensi
2.
Memberikan
penjelasan mengenai kondisi pasien saat ini
Rasional
Pasien mengerti tentang keadaan dirinya dan lebih kooperatif terhadap
tindakan
Rencana intervensi
3.
Observasi
TTV dan observasi tanda akut abdomen
Rasional
Paraameter deteksi dini adanya komplikasi yang terjadi
Rencana intervensi
4.
Pantau
input dan output cairan
Rasional
Untuk mengetahui keseimbangan cairan dalam tubuh
Rencana intervensi
5.
Pemeriksaan
kadar HB
Rasional
Mengetahui kadar HB klien dengan perdarahan.
Rencana intervensi
6.
Lakukan
kolaborasi dengan tim medis untuk penanganan lebih lanjut
Rasional
Melaksanakan fungsi independent
b.
Perubahan
perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang diperlukan
untuk pengiriman nutrient ke sel.
Kriteria hasil :
Menunjukan perfusi jaringan yang adekuat, misalnya : tanda-tanda vital stabil,
membrane mukosa warna merah muda, pengisian kapilerbaik, haluaran urine
adekuat, wajah tidak pucat dan mental seperti biasa.
Tindakan intervensi
1.
Awasi
tanda vital, kaji pengisian kapiler, warna kulit/membrane mukosa, dasar kuku
Rasional
Memberikan informasi tentang derajat / adekuat perfusi jaringan dan
membantu menentukan kebutuhan intervensi.
2.
Cacat
keluhan rasa dingin, pertahankan suhu lingkungan dan tubuh hangat sesuai
indikasi.
Rasional
Vasokontruksi menurunkan sirkulasi perifer. Kenyamanan pasien/ kebutuhan
rasa hangat harus seimbang dengan kebutuhan untuk menghindari panas berlebihan.
3.
Kolaborasi
dengan tim medis yang lain, awasi pemeriksaan lab :
Misalnya HB/HT
Rasional
Mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan pengobatan atau terhadap
terapi.
c.
Nyeri
yang berhubungan dengan ruptur tuba falopi, perdarahan intraperitonial.
Kriteria hasil :
Ibu dapat mendemonstrasikan teknik relaksasi, tanda-tanda vital dalam
batas normal, dan ibu tidak meringis atau menunjukan raut muka yang kesakitan.
Rencana intervensi
Mandiri :
1.
Tentukan
sifat, lokasi dan durasi nyeri, kaji kontraksi uterus hemoragi atau nyeri tekan
abdomen
Rasional
Membantu dalam mendiagnosis dan menentukan tindakan yang akan dilakukan.
Ketidaknyamanan dihubungkan dengan aborsi spontan dan molahidatosa karena kontraksi
uterus yang mungkin diperberat oleh infuse oksitosin. Rupture kehamilan ektopik
mengakibatkan nyeri hebat, karena hemoragi tersembunyi saat tuba falopi rupture
ke dalam abdomen.
2.
Kaji
stress psikologi ibu/ pasangan dan respons emosional terhadap kejadian
Rasional
Ansietas terhadap situasi darurat dapat memperberat ketidaknyamanan
karena syndrome ketegangan, ketakutan dan nyeri
3.
Berikan
lingkungan yang tenang dan aktivitas untuk menurunkan rasa nyeri intruksikan
klien untuk menggunakan metode relaksasi, misalnya; napas dalam, visualisasi
distraksi, dan jelaskan prosedur.
Rasional
Dapat membantu dalam menurunkan tingkat asietas dan karenanya mereduksi
ketidaknyamanan.
Kolaborasi
4.
Berikan
narkotik atau sedative berikut obat-obatan praoperative bila prosedur
pembedahan diindikasikan.
Rasional
Meningkatkan kenyamanan menurunkan komplikasi pembedahan
5.
Siapkan
untuk prosedur bedah bila terdapat indikasi
Rasional
Tingkatkan terhadap penyimpangan dasar akan menghilangkan nyeri
d.
Kurangnya
pengetahuan yang berhubungan dengan kurang pemahaman atau tidak mengenal
sumber-sumber informasi.
Tujuan :
Ibu berpartisipasi dalam proses belajar, mengungkapkan dengan istilah
sederhana mengenai patofisiologi dan implikasi klinis.
Rencana intervensi
1.
Menjelaskan
tindakan dan rasional yang ditentukan untuk kondisi hemoragia
Rasional
Memberikan informasi, menjelaskan kesalahan konsep pikiran ibu mengenai
prosedur yang akan dilakukan, dan
menurunkan setres yang berhubungan dengan prosedur yang diberikan.
2.
Memberikan
kesempatan bagi ibu untuk mengajukan pertanyaan dan mengungkapkan kesalah
konsep
Rasional
Memberikan klarifikasi dari konsep yang salah, identifikasi
masalah-masalah dan kesempatan untuk memulai mengembangkan keterampilan
penyesuaian ( kooping )
3.
Diskusikan
kemungkinan implikasi jangka pendek pada ibu atau janin dari keadaan
pendarahan.
Rasional
Memberikan informasi tentang kemungkinan komplikasi dan meningkatkan
harapan realita dan kerjasama dan aturan dan tindakan.
4.
Tinjau
ulang implikasi jangka panjang terhadap situasi yang memerlukan evaluasi dan
tindakan tambahan.
Rasional
Ibu dengan kehamilan ektropik dapat memahami kesulitan mempertahankan
setelah pengangkatan tuba/ ovarium yang sakit.
2.4
Implementasi keperawatan
Implementasi merupakan tindakan yang sesuai dengan tindakan yang telah
direncanakan, mencakup tindakan mandiri dan kolaborasi. Tindakan mandiri adalah
tindakan keperawatan berdasarkan analisis dan kesimpulan perawat, dan bukan
atas petunjuk data kesehatan lain. Tindakan kolaborasi tindakan keperawatan
yang didasarkan oleh keputusan bersama seperti dokter atau petugas kesehatan
yang lain.
2.5
Evaluasi keperawatan
Merupakan
hasil perkembangan ibu dengan berpedoman kepada hasil dan tujuan yang hendak
dicapai.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kehamilan
ektopik adalah suatu kehamilan dimana sel telur yang dibuahi berimplantasi dan
tumbuh diluar endometrium kavum uteri. Kehamilan ektopik dapat mengalami
abortus atau ruptur pada dinding tuba dan peristiwa ini disebut sebagai Kehamilan ektropik terganggu.
Sebagian besar kehamilan ektopik terganggu berlokasi di tuba (90%) terutama di ampula dan isthmus. Sangat jarang terjadi di ovarium, rongga abdomen, maupun uterus. Keadaan-keadaan yang memungkinkan terjadinya kehamilan ektopik adalah penyakit radang panggul, pemakaian antibiotika pada penyakit radang panggul, pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim IUD (Intra Uterine Device), riwayat kehamilan ektopik sebelumnya, infertilitas, kontrasepsi yang memakai progestin dan tindakan aborsi.
Gejala yang muncul pada kehamilan ektopik terganggu tergantung lokasi dari implantasi. Dengan adanya implantasi dapat meningkatkan vaskularisasi di tempat tersebut dan berpotensial menimbulkan ruptur organ, terjadi perdarahan masif, infertilitas, dan kematian. Hal ini dapat mengakibatkan meningkatnya angka mortalitas dan morbiditas Ibu jika tidak mendapatkan penanganan secara tepat dan cepat.
Insiden kehamilan ektopik terganggu semakin meningkat pada semua wanita terutama pada mereka yang berumur lebih dari 30 tahun. Selain itu, adanya kecenderungan pada kalangan wanita untuk menunda kehamilan sampai usia yang cukup lanjut menyebabkan angka kejadiannya semakin berlipat ganda.
Sebagian besar kehamilan ektopik terganggu berlokasi di tuba (90%) terutama di ampula dan isthmus. Sangat jarang terjadi di ovarium, rongga abdomen, maupun uterus. Keadaan-keadaan yang memungkinkan terjadinya kehamilan ektopik adalah penyakit radang panggul, pemakaian antibiotika pada penyakit radang panggul, pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim IUD (Intra Uterine Device), riwayat kehamilan ektopik sebelumnya, infertilitas, kontrasepsi yang memakai progestin dan tindakan aborsi.
Gejala yang muncul pada kehamilan ektopik terganggu tergantung lokasi dari implantasi. Dengan adanya implantasi dapat meningkatkan vaskularisasi di tempat tersebut dan berpotensial menimbulkan ruptur organ, terjadi perdarahan masif, infertilitas, dan kematian. Hal ini dapat mengakibatkan meningkatnya angka mortalitas dan morbiditas Ibu jika tidak mendapatkan penanganan secara tepat dan cepat.
Insiden kehamilan ektopik terganggu semakin meningkat pada semua wanita terutama pada mereka yang berumur lebih dari 30 tahun. Selain itu, adanya kecenderungan pada kalangan wanita untuk menunda kehamilan sampai usia yang cukup lanjut menyebabkan angka kejadiannya semakin berlipat ganda.
B.
Saran
1. Perawat
Diharapkan perawat mampu lebih aktif
dalam memberikan penyuluhan kesehatan tentang kehamilan ektopik terganggu.
2. Mahasiswa
Agar mahasiswa/i diharapkan agar
dapat lebih memahami dan mengerti dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien
dengan kehamilan ektopik terganggu.
DAFTAR
PUSTAKA
Ayu,
Ida Chandranita Manuaba, dkk. (2009). Kesehatan
reproduksi Wanita. Jakarta.
EGC
Mansjoer Arif, dkk.
2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III, Jilid I. Media Aesculapius FKUI.
Prawirohardjo, Sarwono.
2006. Ilmu Kebidanan.Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
selamat membaca semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar