Selasa, 11 April 2017

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU ( KET )








 KEPERAWATAN MATERNITAS
MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN PADA 
KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU




DISUSUN :

ANDRIANA RAHMANIATI  ( 15002 )
LARAS APRIYANI  ( 15023 )
YULITA UTARI ( 15046 )



PROGRAM DIPLOMA III
AKADEMI KEPERAWATAN HARUM JAKARTA
2016/2017 








KATA PENGANTAR

Kami panjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan hidayahnya kami dapat menyusun makalah Keperawatan Maternitas tentang Konsep Persalinan Vacum, Selesainya penyusunan ini berkat bantuan dari berbagai pihak oleh karena itu, pada kesempatan ini kami sampaikan terima kasih dan penghargaan yang terhormat:
1.      Ibu Rusmawati Sitorus, S.Pd, S.Kep, MA selaku Direktur Akademi Keperawatan Harum  Jakarta.
2.      Ibu Ns. Nina Sunarti, S.Kep selaku dosen mata ajar keperawatan maternitas
3.      Ibu Ns. Ari Susiani, S.kep selaku wali kelas tingkat II.
4.      Rekan-rekan semua angkatan XVII Akademi Keperawatan Harum Jakarta.

Kami menyadari bahwa ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan dan sebagai umpan balik yang positif demi perbaikan di masa mendatang. Harapan kami semoga makalah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang ilmu Keperawatan.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih dan kami berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.




Jakarta, 15 Maret 2017

Kelompok 2



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .....................................................................................i

DAFTAR ISI ....................................................................................................ii.

BAB I PENDAHULUAN

A.                 Latar belakang ...........................................................................1

B.                 Tujuan penulisan ........................................................................2

C.                 Sistematika penulisan .................................................................3

BAB II TINJAUAN TEORITIS

1.1          Definisi .............................................,........................................4

1.2          Etiologi ......................................................................................4

1.3          Klasifikasi  .................................................................................5

1.4          Patofisiologi kehamilan tuba........... ..........................................6

1.5          Manifestasi klinik kehamilan tuba ...........................................7
1.6          Varian-varian kehamilan ektopik.............................................15

Asuhan keperawatan

2.1  Pengkajian .....................................................................................17

2.2  Diagnosa keperawatan...................................................................19

2.3  Intervensi keperawatan .................................................................19

2.4  Implementasi keperawatan ..........................................................23

2.5  Evaluasi keperawatan ...................................................................23
BAB IV PENUTUP
3.1    Kesimpulan...................................................................................24
3.2  Saran.............................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA








BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar belakang

Kehamilan ektopik adalah salah satu komplikasi kehamilan dimana ovum yang sudah dibuahi menempel di jaringan yang bukan dinding rahim.
Kehamilan ektopik terganggu (KET) adalah kegawatdaruratan obstetrik yang mengancam nyawa ibu dan kelangsungan hidup janin, serta merupakan salah satu penyebab utama mortalitas ibu, khususnya pada trimester pertama. Karena manifestasinya yang cukup dramatis, sering kali KET dijumpai terlebih dahulu bukan oleh dokter-dokter ahli kebidanan, melainkan dokter-dokter yang bekerja di unit gawat darurat, sehingga entitas ini perlu diketahui oleh setiap dokter. Di masa lampau KET hampir selalu fatal, namun berkat perkembangan alat diagnostik yang canggih morbiditas maupun mortalitas akibat KET jauh berkurang. Meskipun demikian, kehamilan ektopik masih merupakan salah satu masalah utama dalam bidang obstetri. Perkembangan teknologi fertilitas dan kontrasepsi memang di satu sisi menyelesaikan masalah infertilitas maupun KB, namun di sisi lain menciptakan masalah baru. Kehamilan ektopik dapat terjadi sebagai akibat usaha fertilisasi in vitro pada seorang ibu, dan kehamilan ektopik tersebut dapat menurunkan kesempatan pasangan infertil yang bersangkutan untuk mendapatkan anak pada usaha berikutnya.
Insidens kehamilan ektopik yang sesungguhnya sulit ditetapkan. Meskipun secara kuantitatif mortalitas akibat KET berhasil ditekan, persentase insidens dan prevalensi KET cenderung meningkat dalam dua dekade ini. Dengan berkembangan alat diagnostik canggih, semakin banyak kehamilan ektopik yang terdiagnosis sehingga semakin tinggi pula insidens dan prevalensinya. Keberhasilan kontrasepsi pula meningkatkan persentase kehamilan ektopik, karena keberhasilan kontrasepsi hanya menurunkan angka terjadinya kehamilan uterin, bukan kehamilan ektopik. Meningkatnya prevalensi infeksi tuba juga meningkatkan keterjadian kehamilan ektopik. Selain itu, perkembangan teknologi di bidang reproduksi, seperti fertilisasi in vitro, ikut berkontribusi terhadap peningkatan frekuensi kehamilan ektopik. Di Amerika Serikat, kehamilan ektopik terjadi pada 1 dari 64 hingga 1 dari 241 kehamilan, dan 85-90% kasus kehamilan ektopik didapatkan pada multigravida.
Masalah yang lain ialah masalah diagnosis. Tidak semua pusat kesehatan di negara ini mempunyai fasilitas pencitraan, dan dalam menghadapi pasien yang datang dengan keluhan maupun tanda KET, tidak semua dokter, terutama primary-care physician, segera memikirkan KET sebagai salah satu diagnosis banding. Hal ini mengakibatkan keterlambatan diagnosis dan terapi yang adekuat. Kehamilan ektopik yang belum terganggu juga menjadi masalah tersendiri, karena seolah-olah menjadi bom waktu dalam tubuh pasien. Hal ini terjadi bila tidak ada fasilitas diagnostik yang menunjang, seperti yang terjadi di berbagai daerah rural di Indonesia. Dengan diagnosis yang tepat dan cepat kesejahteraan ibu, bahkan janin, dapat ditingkatkan.






BAB II
TINJAUAN TEORITIS

1.1  Definisi
Istilah ektopik berasal dari bahasa inggris, ectopic, dengan akar kata dari bahasa yunani, toops yang berarti tempat. Jadi istilah ektopik dapat diartikan “ berada diluar tempat yang semestinya” apabila pada kehamilan ektopik terjadi abortus atau pecah, dalam hal ini dapat berbahaya bagi wanita hamil tersebut maka kehamilan ini disebut kehamilan ektopik terganggu.
Kehamilan ektopik adalah kehamilan dengan implantasi terjadi diluar rongga uterus, tuba falopi merupakan tempat tersering untuk terjadinya implantasi kehamilan ektopik, sebagian besar terjadi kehamilan ektopik berlokasi di tuba, jarang terjadi implantasi pada ovarium, rongga perut, kanalis servikalis uteri, tanduk uterus yang rudimenter dan divertikel pada uterus ( Sarwono Prawiroharjo,2005 ).
Suatu kehamilan disebut kehamilan ektopik bila zigot terimplantasi di lokasi-lokasi selain cavum uteri, seperti di ovarium, tuba, serviks, bahkan rongga abdomen. Istilah kehamilan ektopik terganggu (KET) merujuk pada keadaan di mana timbul gangguan pada kehamilan tersebut sehingga terjadi abortus maupun ruptur yang menyebabkan penurunan keadaan umum pasien.
1.2  Etiologi
Kehamilan ektopik pada dasarnya disebabkan segala hal yang menghambat perjalanan zigot menuju kavum uteri. Faktor-faktor mekanis yang menyebabkan kehamilan ektopik antara lain: riwayat operasi tuba, salpingitis, perlekatan tuba akibat operasi non-ginekologis seperti apendektomi, pajanan terhadap diethylstilbestrol, salpingitis isthmica nodosum (penonjolan-penonjolan kecil ke dalam lumen tuba yang menyerupai divertikula), dan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR). Hal-hal tersebut secara umum menyebabkan perlengketan intra- maupun ekstraluminal pada tuba, sehingga menghambat perjalanan zigot menuju kavum uteri. Selain itu ada pula faktor-faktor fungsional, yaitu perubahan motilitas tuba yang berhubungan dengan faktor hormonal dan defek fase luteal. Dalam hal ini gerakan peristalsis tuba menjadi lamban, sehingga implantasi zigot terjadi sebelum zigot mencapai kavum uteri. Dikatakan juga bahwa meningkatnya usia ibu akan diiringi dengan penurunan aktivitas mioelektrik tuba. Teknik-teknik reproduktif seperti gamete intrafallopian transfer dan fertilisasi in vitro juga sering menyebabkan implantasi ekstrauterin. Ligasi tuba yang tidak sempurna memungkinkan sperma untuk melewati bagian tuba yang sempit, namun ovum yang telah dibuahi sering kali tidak dapat melewati bagian tersebut. Alat kontrasepsi dalam rahim selama ini dianggap sebagai penyebab kehamilan ektopik. Namun ternyata hanya AKDR yang mengandung progesteron yang meningkatkan frekuensi kehamilan ektopik. AKDR tanpa progesteron tidak meningkatkan risiko kehamilan ektopik, tetapi bila terjadi kehamilan pada wanita yang menggunakan AKDR, besar kemungkinan kehamilan tersebut adalah kehamilan ektopik.
1.3  Klasifikasi
Sarwono Prawirohardjo dan Cuningham masing-masing dalam bukunya mengklasifikasikan kehamilan ektopik berdasarkan lokasinya antara lain :
1.      Tuba falopi
a.       Pars-intersistisialis
b.      Isthmus
c.       Ampula
d.      Infudibulum
e.       Fimbrae
2.      Uterus
a.       Kanalis servikalis
b.      Divertikulum
c.       Kornu
d.      Tanduk rudimenter
3.      Ovarium
4.      Intraligamenter
5.      Abdominal
a.       Primer
b.      Sekunder
6.      Kombinasi kehamilan dalam dan luar uterus
1.4  Patofisiologi Kehamilan Tuba
Tempat-tempat implantasi kehamilan ektopik antara lain ampulla tuba (lokasi tersering), isthmus, fimbriae, pars interstitialis, kornu uteri, ovarium, rongga abdomen, serviks dan ligamentum kardinal. Zigot dapat berimplantasi tepat pada sel kolumnar tuba maupun secara interkolumnar. Pada keadaan yang pertama, zigot melekat pada ujung atau sisi jonjot endosalping yang relatif sedikit mendapat suplai darah, sehingga zigot mati dan kemudian diresorbsi. Pada implantasi interkolumnar, zigot menempel di antara dua jonjot. Zigot yang telah bernidasi kemudian tertutup oleh jaringan endosalping yang menyerupai desidua, yang disebut pseudokapsul. Villi korialis dengan mudah menembus endosalping dan mencapai lapisan miosalping dengan merusak integritas pembuluh darah di tempat tersebut. Selanjutnya, hasil konsepsi berkembang, dan perkembangannya tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tempat implantasi, ketebalan tempat implantasi dan banyaknya perdarahan akibat invasi trofoblas.
Seperti kehamilan normal, uterus pada kehamilan ektopik pun mengalami hipertrofi akibat pengaruh hormon estrogen dan progesteron, sehingga tanda-tanda kehamilan seperti tanda Hegar dan Chadwick pun ditemukan. Endometrium pun berubah menjadi desidua, meskipun tanpa trofoblas. Sel-sel epitel endometrium menjadi hipertrofik, hiperkromatik, intinya menjadi lobular dan sitoplasmanya bervakuol. Perubahan selular demikian disebut sebagai reaksi Arias-Stella.
Karena tempat implantasi pada kehamilan ektopik tidak ideal untuk berlangsungnya kehamilan, suatu saat kehamilan ektopik tersebut akan terkompromi. Kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi pada kehamilan ektopik adalah: 1) hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi, 2) abortus ke dalam lumen tuba, dan 3) ruptur dinding tuba.
Abortus ke dalam lumen tuba lebih sering terjadi pada kehamilan pars ampullaris, sedangkan ruptur lebih sering terjadi pada kehamilan pars isthmica. Pada abortus tuba, bila pelepasan hasil konsepsi tidak sempurna atau tuntas, maka perdarahan akan terus berlangsung. Bila perdarahan terjadi sedikit demi sedikit, terbentuklah mola kruenta. Tuba akan membesar dan kebiruan (hematosalping), dan darah akan mengalir melalui ostium tuba ke dalam rongga abdomen hingga berkumpul di kavum Douglas dan membentuk hematokel retrouterina.
Pada kehamilan di pars isthmica, umumnya ruptur tuba terjadi lebih awal, karena pars isthmica adalah bagian tuba yang paling sempit. Pada kehamilan di pars interstitialis ruptur terjadi lebih lambat (8-16 minggu) karena lokasi tersebut berada di dalam kavum uteri yang lebih akomodatif, sehingga sering kali kehamilan pars interstitialis disangka sebagai kehamilan intrauterin biasa. Perdarahan yang terjadi pada kehamilan pars interstitialis cepat berakibat fatal karena suplai darah berasal dari arteri uterina dan ovarika. Oleh sebab itu kehamilan pars interstitialis adalah kehamilan ektopik dengan angka mortalitas tertinggi. Kerusakan yang melibatkan kavum uteri cukup besar sehingga histerektomi pun diindikasikan. Ruptur, baik pada kehamilan fimbriae, ampulla, isthmus maupun pars interstitialis, dapat terjadi secara spontan maupun akibat trauma ringan, seperti koitus dan pemeriksaan vaginal. Bila setelah ruptur janin terekspulsi ke luar lumen tuba, masih terbungkus selaput amnion dan dengan plasenta yang masih utuh, maka kehamilan dapat berlanjut di rongga abdomen. Untuk memenuhi kebutuhan janin, plasenta dari tuba akan meluaskan implantasinya ke jaringan sekitarnya, seperti uterus, usus dan ligamen.
1.5  Manifestasi Klinik Kehamilan Tuba
Gejala Subjektif
Sebagian besar pasien merasakan nyeri abdomen, keterlambatan menstruasi dan perdarahan per vaginam. Nyeri yang diakibatkan ruptur tuba berintensitas tinggi dan terjadi secara tiba-tiba. Penderita dapat jatuh pingsan dan syok. Nyeri akibat abortus tuba tidak sehebat nyeri akibat ruptur tuba, dan tidak terus-menerus. Pada awalnya nyeri terdapat pada satu sisi, tetapi setelah darah masuk ke rongga abdomen dan merangsang peritoneum, nyeri menjadi menyeluruh. Perdarahan per vaginam berasal dari pelepasan desidua dari kavum uteri dan dari abortus tuba. Umumnya perdarahan tidak banyak dan berwarna coklat tua. Keterlambatan menstruasi tergantung pada usia gestasi. Penderita mungkin tidak menyangka bahwa dirinya hamil, atau menyangka dirinya hamil normal, atau mengalami keguguran (abortus tuba). Sebagian penderita tidak mengeluhkan keterlambatan haid karena kematian janin terjadi sebelum haid berikutnya. Kadang-kadang pasien merasakan nyeri yang menjalar ke bahu. Hal ini disebabkan iritasi diafragma oleh hemoperitoneum.
Temuan objektif
Pada kasus-kasus yang dramatis, sering kali pasien datang dalam keadaan umum yang buruk karena syok. Tekanan darah turun dan frekuensi nadi meningkat. Darah yang masuk ke dalam rongga abdomen akan merangsang peritoneum, sehingga pada pasien ditemukan tanda-tanda rangsangan peritoneal (nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas, defense musculaire). Bila perdarahan berlangsung lamban dan gradual, dapat dijumpai tanda anemia pada pasien. Hematosalping akan teraba sebagai tumor di sebelah uterus. Dengan adanya hematokel retrouterina, kavum Douglas teraba menonjol dan nyeri pada pergerakan (nyeri goyang porsio). Di samping itu dapat ditemukan tanda-tanda kehamilan, seperti pembesaran uterus.
Diagnosis
Diagnosis kehamilan ektopik terganggu tentunya ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. KET harus dipikirkan bila seorang pasien dalam usia reproduktif mengeluhkan nyeri perut bawah yang hebat dan tiba-tiba, ataupun nyeri perut bawah yang gradual, disertai keluhan perdarahan per vaginam setelah keterlambatan haid, dan pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda akut abdomen, kavum Douglas menonjol, nyeri goyang porsio, atau massa di samping uterus. Adanya riwayat penggunaan AKDR, infeksi alat kandungan, penggunaan pil kontrasepsi progesteron dan riwayat operasi tuba serta riwayat faktor-faktor risiko lainnya memperkuat dugaan KET. Namun sebagian besar pasien menyangkal adanya faktor-faktor risiko tersebut di atas.
Bila pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan kantong gestasi dengan denyut jantung janin dengan kavum uteri yang kosong, maka diagnosis pasti dapat ditegakkan. USG transvaginal dapat mendeteksi tubal ring (massa berdiameter 1-3 cm dengan pinggir ekhogenik yang mengelilingi pusat yang hipoekhoik); gambaran tersebut cukup spesifik untuk kehamilan ektopik. USG transvaginal juga memungkinkan evaluasi kavum pelvis dengan lebih baik, termasuk visualisasi cairan di kavum Douglas dan massa pelvis.
Kadar hCG membantu penegakan diagnosis, meskipun tidak ada konsensus mengenai kadar hCG yang sugestif untuk kehamilan ektopik. Kehamilan ektopik dapat dibedakan dari kehamilan normal dengan pemeriksaan kadar hCG secara serial. Pada usia gestasi 6-7 minggu, kadar hCG serum meningkat dua kali lipat setiap 48 jam pada kehamilan intrauterin normal. Peningkatan yang subnormal (< 66%) dijumpai pada 85% kehamilan yang nonviable, dan peningkatan sebanyak 20% sangat prediktif untuk kehamilan nonviable. Fenomena ini, bila disertai dengan terdeteksinya kavum uteri yang kosong, mengindikasikan adanya kehamilan ektopik. Secara klinis, penegakan diagnosis KET dengan pemantauan kadar hCG serial tidak praktis, karena dapat mengakibatkan keterlambatan diagnosis. Selain itu, peningkatan kadar hCG serum dua kali lipat setiap 48 jam tidak lagi terjadi setelah minggu ke-7 kehamilan. Oleh sebab itu, umumnya yang diperiksakan adalah hCG kualitatif untuk diagnosis cepat kehamilan.
Dengan adanya USG dan pemeriksaan kadar hCG yang lebih akurat, kuldosentesis sudah tidak terlalu sering dilakukan. Meskipun demikian, tindakan tersebut masih dilakukan bila tidak ada fasilitas USG atau bila pada pemeriksaan USG kantong gestasi tidak berhasil terdeteksi.
Kadar progesteron pada kehamilan nonviable memang menurun, namun penurunan kadar progesteron tersebut tidak dapat membedakan kehamilan ektopik dari abortus insipiens.
Diagnosis juga dapat ditegakkan secara bedah (surgical diagnosis). Kuretase dapat dikerjakan untuk membedakan kehamilan ektopik dari abortus insipiens atau abortus inkomplet. Kuretase tersebut dianjurkan pada kasus-kasus di mana timbul kesulitan membedakan abortus dari kehamilan ektopik dengan kadar progesteron serum di bawah 5 ng/ml, β-hCG meningkat abnormal (< 2000 mU/mL) dan kehamilan uterin tidak terdeteksi dengan USG transvaginal. Diagnosis secara bedah juga dapat dilakukan dengan laparoskopi dan laparotomi. Laparotomi umumnya dikerjakan bila keadaan hemodinamik pasien tidak stabil.
Diagnosis Banding
Keadaan-keadaan patologis baik di dalam maupun di luar bidang obstetri-ginekologi perlu dipikirkan sebagai diagnosis banding KET. Kelainan bidang obstetri-ginekologi yang didiagnosis banding dengan KET antara lain abortus, kista ovarii terpuntir, perdarahan uterin disfungsional, endometriosis, salpingitis, ruptur kista luteal dan penyakit trofoblastik gestasional. Penyakit di luar bidang obstetri-ginekologi yang manifestasinya menyerupai KET adalah apendisitis.
Penatalaksanaan Kehamilan Tuba
Penatalaksanaan kehamilan ektopik tergantung pada beberapa hal, antara lain lokasi kehamilan dan tampilan klinis. Sebagai contoh, penatalaksanaan kehamilan tuba berbeda dari penatalaksanaan kehamilan abdominal. Selain itu, perlu dibedakan pula penatalaksanaan kehamilan ektopik yang belum terganggu dari kehamilan ektopik terganggu. Tentunya penatalaksanaan pasien dengan kehamilan ektopik yang belum terganggu berbeda dengan penatalaksanaan pasien dengan kehamilan ektopik terganggu yang menyebabkan syok.
Seorang pasien yang terdiagnosis dengan kehamilan tuba dan masih dalam kondisi baik dan tenang, memiliki 3 pilihan, yaitu penatalaksanaan ekspektasi (expectant management), penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan bedah.
Penatalaksanaan Ekspektasi
Penatalaksanaan ekspektasi didasarkan pada fakta bahwa sekitar 75% pasien -hCG. Padabdengan kehamilan ektopik akan mengalami penurunan kadar  -hCG yangbpenatalaksanaan ekspektasi, kehamilan ektopik dini dengan kadar  stabil atau cenderung turun diobservasi ketat. Oleh sebab itu, tidak semua pasien dengan kehamilan ektopik dapat menjalani penatalaksanaan seperti ini. Penatalaksanaan ekspektasi dibatasi pada keadaan-keadaan berikut: 1) kehamilan -hCG yang menurun, 2) kehamilan tuba, 3) tidak adabektopik dengan kadar  perdarahan intraabdominal atau ruptur, dan 4) diameter massa ektopik tidak -hCG awal harus kurangbmelebihi 3.5 cm. Sumber lain menyebutkan bahwa kadar  dari 1000 mIU/mL, dan diameter massa ektopik tidak melebihi 3.0 cm. Dikatakan bahwa penatalaksanaan ekspektasi ini efektif pada 47-82% kehamilan tuba.
Penatalaksanaan Medis
Pada penatalaksanaan medis digunakan zat-zat yang dapat merusak integritas jaringan dan sel hasil konsepsi. Kandidat-kandidat penerima tatalaksana medis harus memiliki syarat-syarat berikut ini: keadaan hemodinamik yang stabil, bebas nyeri perut bawah, tidak ada aktivitas jantung janin, tidak ada cairan bebas dalam rongga abdomen dan kavum Douglas, harus teratur menjalani terapi, harus menggunakan kontrasepsi yang efektif selama 3-4 bulan pascaterapi, tidak memiliki penyakit-penyakit penyerta, sedang tidak menyusui, tidak ada kehamilan intrauterin yang koeksis, memiliki fungsi ginjal, hepar dan profil darah yang normal, serta tidak memiliki kontraindikasi terhadap pemberian methotrexate. Berikut ini akan dibahas beberapa metode terminasi kehamilan ektopik secara medis.
a.       Methotrexate
Methotrexate adalah obat sitotoksik yang sering digunakan untuk terapi keganasan, termasuk penyakit trofoblastik ganas. Pada penyakit trofoblastik, methotrexate akan merusak sel-sel trofoblas, dan bila diberikan pada pasien dengan kehamilan ektopik, methotrexate diharapkan dapat merusak sel-sel trofoblas sehingga menyebabkan terminasi kehamilan tersebut. Seperti halnya dengan penatalaksanaan medis untuk kehamilan ektopik pada umumnya, kandidat-kandidat untuk terapi methotrexate harus stabil secara hemodinamis dengan fungsi ginjal, hepar dan profil darah yang normal. Harus diketahui pula bahwa terapi methotrexate maupun medis secara umum mempunyai angka kegagalan sebesar 5-10%, dan angka kegagalan meningkat pada usia gestasi di atas 6 minggu atau bila massa hasil konsepsi berdiameter lebih dari 4 cm. Pasien harus diinformasikan bahwa bila terjadi kegagalan terapi medis, pengulangan terapi diperlukan, dan pasien harus dipersiapkan untuk kemungkinan menjalani pembedahan. Selain itu, tanda-tanda kehamilan ektopik terganggu harus selalu diwaspadai. Bila hal tersebut terjadi, pasien harus sesegera mungkin menjalani pembedahan. Senggama dan konsumsi asam folat juga dilarang. Tentunya methotrexate menyebabkan beberapa efek samping yang harus diantisipasi, antara lain gangguan fungsi hepar, stomatitis, gastroenteritis dan depresi sumsum tulang. Beberapa prediktor keberhasilan terapi dengan methotrexate yang -hCG, progesteron, aktivitasbdisebutkan dalam literatur antara lain kadar  jantung janin, ukuran massa hasil konsepsi dan ada/tidaknya cairan bebas dalam rongga peritoneum. Namun disebutkan dalam sumber lain bahwa hanya kadar -hCG-lah yang bermakna secara statistik. Untuk memantau keberhasilan terapi,b -hCG serial dibutuhkan. Pada hari-hari pertama setelah dimulainyabpemeriksaan  pemberian methotrexate, 65-75% pasien akan mengalami nyeri abdomen yang diakibatkan pemisahan hasil konsepsi dari tempat implantasinya (separation pain), dan hematoma yang meregangkan dinding tuba. Nyeri ini dapat diatasi -hCG umumnya tidak terdeteksi lagi dalam 14-21bdengan analgetik nonsteroidal.  hari setelah pemberian methotrexate. Pada hari-hari pertama pula massa hasil konsepsi akan tampak membesar pada pencitraan ultrasonografi akibat edema dan hematoma, sehingga jangan dianggap sebagai kegagalan terapi. Setelah terapi -hCG masih perlu diawasi setiap minggunya hingga kadarnya dibberhasil, kadar  bawah 5 mIU/mL.
Methotrexate dapat diberikan dalam dosis tunggal maupun dosis multipel. Dosis tunggal yang diberikan adalah 50 mg/m2 (intramuskular), sedangkan dosis multipel yang diberikan adalah sebesar 1 mg/kg (intramuskular) pada hari pertama, ke-3, 5, dan hari ke-7. Pada terapi dengan dosis multipel leukovorin ditambahkan ke dalam regimen pengobatan dengan dosis 0.1 mg/kg (intramuskular), dan diberikan pada hari ke-2, 4, 6 dan 8. Terapi methotrexate dosis multipel tampaknya memberikan efek negatif pada patensi tuba dibandingkan dengan terapi methotrexate dosis tunggal 9. Methotrexate dapat pula diberikan melalui injeksi per laparoskopi tepat ke dalam massa hasil konsepsi. Terapi methotrexate dosis tunggal adalah modalitas terapeutik paling ekonomis untuk kehamilan ektopik yang belum terganggu.
b.      Actinomycin
Neary dan Rose melaporkan bahwa pemberian actinomycin intravena selama 5 hari berhasil menterminasi kehamilan ektopik pada pasien-pasien dengan kegagalan terapi methotrexate sebelumnya.

c.       Larutan Glukosa Hiperosmolar
Injeksi larutan glukosa hiperosmolar per laparoskopi juga merupakan alternatif terapi medis kehamilan tuba yang belum terganggu. Yeko dan kawan-kawan melaporkan keberhasilan injeksi larutan glukosa hiperosmolar dalam menterminasi kehamilan tuba. Namun pada umumnya injeksi methotrexate tetap lebih unggul. Selain itu, angka kegagalan dengan terapi injeksi larutan glukosa tersebut cukup tinggi, sehingga alternatif ini jarang digunakan.
Penatalaksanaan Bedah
Penatalaksanaan bedah dapat dikerjakan pada pasien-pasien dengan kehamilan tuba yang belum terganggu maupun yang sudah terganggu. Tentu saja pada kehamilan ektopik terganggu, pembedahan harus dilakukan secepat mungkin. Pada dasarnya ada 2 macam pembedahan untuk menterminasi kehamilan tuba, yaitu pembedahan konservatif, di mana integritas tuba dipertahankan, dan pembedahan radikal, di mana salpingektomi dilakukan. Pembedahan konservatif mencakup 2 teknik yang kita kenal sebagai salpingostomi dan salpingotomi. Selain itu, macam-macam pembedahan tersebut di atas dapat dilakukan melalui laparotomi maupun laparoskopi. Namun bila pasien jatuh ke dalam syok atau tidak stabil, maka tidak ada tempat bagi pembedahan per laparoskopi.
d.      Salpingostomi
Salpingostomi adalah suatu prosedur untuk mengangkat hasil konsepsi yang berdiameter kurang dari 2 cm dan berlokasi di sepertiga distal tuba fallopii. Pada prosedur ini dibuat insisi linear sepanjang 10-15 mm pada tuba tepat di atas hasil konsepsi, di perbatasan antimesenterik. Setelah insisi hasil konsepsi segera terekspos dan kemudian dikeluarkan dengan hati-hati. Perdarahan yang terjadi umumnya sedikit dan dapat dikendalikan dengan elektrokauter. Insisi kemudian dibiarkan terbuka (tidak dijahit kembali) untuk sembuh per sekundam. Prosedur ini dapat dilakukan dengan laparotomi maupun laparoskopi. Metode per laparoskopi saat ini menjadi gold standard untuk kehamilan tuba yang belum terganggu. Sebuah penelitian di Israel membandingkan salpingostomi per laparoskopi dengan injeksi methotrexate per laparoskopi. Durasi pembedahan pada grup salpingostomi lebih lama daripada durasi pembedahan pada grup methotrexate, namun grup salpingostomi menjalani masa rawat inap yang lebih singkat dan insidens aktivitas trofoblastik persisten pada grup ini lebih rendah. Meskipun demikian angka keberhasilan terminasi kehamilan tuba dan angka kehamilan intrauterine setelah kehamilan tuba pada kedua grup tidak berbeda secara bermakna.
e.       Salpingotomi
Pada dasarnya prosedur ini sama dengan salpingostomi, kecuali bahwa pada salpingotomi insisi dijahit kembali. Beberapa literatur menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna dalam hal prognosis, patensi dan perlekatan tuba pascaoperatif antara salpingostomi dan salpingotomi.
Salpingektomi
Reseksi tuba dapat dikerjakan baik pada kehamilan tuba yang belum maupun yang sudah terganggu, dan dapat dilakukan melalui laparotomi maupun laparoskopi. Salpingektomi diindikasikan pada keadaan-keadaan berikut ini: 1) kehamilan ektopik mengalami ruptur (terganggu), 2) pasien tidak menginginkan fertilitas pascaoperatif, 3) terjadi kegagalan sterilisasi, 4) telah dilakukan rekonstruksi atau manipulasi tuba sebelumnya, 5) pasien meminta dilakukan sterilisasi, 6) perdarahan berlanjut pascasalpingotomi, 7) kehamilan tuba berulang, 8) kehamilan heterotopik, dan 9) massa gestasi berdiameter lebih dari 5 cm. Reseksi massa hasil konsepsi dan anastomosis tuba kadang-kadang dilakukan pada kehamilan pars ismika yang belum terganggu. Metode ini lebih dipilih daripada salpingostomi, sebab salpingostomi dapat menyebabkan jaringan parut dan penyempitan lumen pars ismika yang sebenarnya sudah sempit. Pada kehamilan pars interstitialis, sering kali dilakukan pula histerektomi untuk menghentikan perdarahan masif yang terjadi. Pada salpingektomi, bagian tuba antara uterus dan massa hasil konsepsi diklem, digunting, dan kemudian sisanya (stump) diikat dengan jahitan ligasi. Arteria tuboovarika diligasi, sedangkan arteria uteroovarika dipertahankan. Tuba yang direseksi dipisahkan dari mesosalping.
f.       Evakuasi Fimbrae dan Fimbraektomi
Bila terjadi kehamilan di fimbrae, massa hasil konsepsi dapat dievakuasi dari fimbrae tanpa melakukan fimbraektomi. Dengan menyemburkan cairan di bawah tekanan dengan alat aquadisektor atau spuit, massa hasil konsepsi dapat terdorong dan lepas dari implantasinya. Fimbraektomi dikerjakan bila massa hasil konsepsi berdiameter cukup besar sehingga tidak dapat diekspulsi dengan cairan bertekanan.

1.6  Varian-varian kehamilan ektopik
            Kehamilan Abdominal
Hampir semua kasus kehamilan abdominal merupakan kehamilan ektopik sekunder akibat ruptur atau aborsi kehamilan tuba atau ovarium ke dalam rongga abdomen. Implantasi primer di dalam rongga abdomen amatlah jarang. Mortalitas akibat kehamilan abdominal tujuh kali lebih tinggi daripada kehamilan tuba, dan 90 kali lebih tinggi daripada kehamilan intrauterin. Morbiditas maternal dapat disebabkan perdarahan, infeksi, anemia, koagulasi intravaskular diseminata (DIC), emboli paru atau terbentuknya fistula antara kantong amnion dengan usus. Pada kehamilan abdominal yang khas, plasenta yang telah menembus dinding tuba secara bertahap membuat perlekatan baru dengan jaringan serosa di sekitarnya, namun juga mempertahankan perlekatannya dengan tuba. Pada beberapa kasus, setelah ruptur tuba plasenta mengadakan implantasi di tempat yang terpisah dari tuba dalam rongga abdomen. Kehamilan abdominal dapat juga terjadi akibat ruptur bekas insisi seksio sesaria, dan pada kasus ini kehamilan berlanjut di balik plika vesikouterina. Diagnosis kehamilan abdominal berawal dari indeks kecurigaan yang tinggi. Temuan-temuan ultrasonografik berikut, meskipun tidak patognomonis, harus segera membuat kita berpikir akan suatu kehamilan abdominal:
1.      tidak tampaknya dinding uterus antara kandung kemih dengan janin,
2.       plasenta terletak di luar uterus,
3.      bagian-bagian janin dekat dengan dinding abdomen ibu,
4.      letak janin abnormal, dan
5.      tidak ada cairan amnion antara plasenta dan janin. MRI dan CT-scan dapat memberikan visualisasi yang jauh lebih baik daripada USG.
Kehamilan ekstrauterin lanjut memiliki peluang kelahiran hidup sebesar 10-25%, namun angka malformasi kongenital pada bayi ekstrauterin cukup tinggi akibat oligohidramnios, dan hanya 50%-nya dapat bertahan hidup lebih dari satu minggu. Kelainan kongenital yang ditemukan umumnya berupa abnormalitas wajah, kranium dan ekstremitas. Kehamilan abdominal pula memberikan ancaman-ancaman kesehatan bagi si ibu. Oleh sebab itu, terminasi sedini mungkin sangat dianjurkan. Janin yang mati namun terlalu besar untuk diresorbsi dapat mengalami proses supurasi, mumifikasi atau kalsifikasi. Karena letak janin yang sangat dekat dengan traktus gastrointestinal, bakteri dengan mudah mencapai janin dan berkembang biak dengan subur. Selanjutnya, janin akan mengalami supurasi, terbentuk abses, dan abses tersebut dapat ruptur sehingga terjadi peritonitis. Bagian-bagian janin pun dapat merusak organ-organ ibu di sekitarnya. Pada satu atau dua kasus yang telah dilaporkan, janin yang mati mengalami proses mumifikasi, menjadi lithopedion, dan menetap dalam rongga abdomen selama lebih dari 15 tahun. Penanganan kehamilan abdominal sangat berisiko tinggi. Penyulit utama adalah perdarahan yang disebabkan ketidakmampuan tempat implantasi plasenta untuk mengadakan vasokonstriksi seperti miometrium. Sebelum operasi, cairan resusitasi dan darah harus tersedia, dan pada pasien harus terpasang minimal dua jalur intravena yang cukup besar. Pengangkatan plasenta membawa masalah tersendiri pula. Plasenta boleh diangkat hanya jika pembuluh darah yang mendarahi implantasi plasenta tersebut dapat diidentifikasi dan diligasi. Karena hal tersebut tidak selalu dapat dilaksanakan, dan lepasnya plasenta sering mengakibatkan perdarahan hebat, umumnya plasenta ditinggalkan in situ. Pada sebuah laporan kasus, plasenta yang lepas sebagian terpaksa dijahit kembali karena perdarahan tidak dapat dihentikan dengan berbagai macam manuver hemostasis. Dengan ditinggalkan in situ, plasenta diharapkan mengalami regresi dalam 4 bulan. Komplikasi-komplikasi yang sering terjadi adalah ileus, peritonitis, pembentukan abses intraabdomen dan infeksi organ-organ sekitar plasenta, serta preeklamsia persisten. Regresi plasenta dimonitor dengan -hCG serum. Pemberianbpencitraan ultrasonografi dan pengukuran kadar  methotrexate untuk mempercepat involusi plasenta tidak dianjurkan, karena degradasi jaringan plasenta yang terlalu cepat akan menyebabkan akumulasi jaringan nekrotik, yang selanjutnya dapat mengakibatkan sepsis. Embolisasi per angiografi arteri-arteri yang mendarahi tempat implantasi plasenta adalah sebuah alternatif yang baik.


ASUHAN KEPERAWATAN KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU

2.1  pengkajian
1.      anamnesa dan gejala klinis
1.      riwayat terlambat haid
2.      gejala dan tanda kehamilan muda
3.      dapat ada atau tidak ada perdarahan per vaginan
4.      terdapat aminore
5.      adanya nyeri mendadak disertai rasa nyeri bahu dan seluruh abdomen, terutama abdomen bagian kanan/ kiri bawah
6.      berat atau ringannya nyeri tergantung pada banyaknya darah yang terkumpul dalam peritoneum.
2.      Pemeriksaa fisik
a.       Inspeksi
1.      Mulut : bibir pucat
2.      Payudara : hyperpigmentasi, hipervaskularisasi, simetris
3.      Abdomen : pembesaran abdomen
4.      Genitalia : terdapat perdarahan pervaginam
5.      Ekstermitas : dingin
b.      Palpasi
1.      Abdomen : uterus teraba, lembek, TFU lebih kecil daripada UK, nyeri tekan, perut teraba tegang, messa pada adnexa.
2.      Genetalia : nyeri goyang porsio, kavum douglas menonjol
c.       Auskultasi
1.      Abdomen : bising usus ( + ), DJJ( - )
d.      Perkusi
1.      Ekstermitas : reflek patella +/+


Pemeriksaan fisik umum
1.      Pasien tampak anemsis dan sakit
2.      Didapatkan rahim yang juga membesar, adanya tumor di daerah adneksa
3.      Kesadaran bervariasi dari baik sampai koma tidak sadar
4.      Daerah ujung (ekstermitas) dingin
5.      Adanya tanda-tanda syok hipovolemik, yaitu hipotensi, pucat, adanya tanda-tanda abdommen akut yaitu perut tegang bagian bawah, nyeri tekan dan nyeri nyeri lepas dinding abdomen.
6.      Pemeriksa nadi meningkat, tekanan darah menurun sampai syok
7.      Pemeriksaan abdomen : perut kembung, terdapat cairan bebas darah, nyeri saat perabaan.
Pemeriksaan khusus :
1.      Nyeri goyang pada pemeriksaan serviks
2.      Kavum douglas menonjol dan nyeri
3.      Mungkin terasa tumor disamping uterus
4.      Pada hematokel tumor dan uterus sulit dibedakan
5.      Pemeriksaan ginekologis : serviks teraba lunak, nyeri tekan, nyeri pada uteris kanan dan kiri
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan air seni dapat dilakukan untuk mengetahui kehamilan seseorang, sdangkan untuk mengetahui kehamilan ektopik seseorang dokter dapat melakukan :
a.       Laboratorium
1.      Hematokrit
Tergantung pada populasi dan derajat perdarahan abdominal yang terjadi.
2.      Sel darah putih sangat bervariasi dan tak jarang terlihat adanya leukositosis.
3.      Tes kehamilan
Pada kehamilan ektopik hampir 100% menunjukan pemeriksaan β-hCG positif.
b.      Pemeriksaan penunjang/ khusus
1.      Setelah 24 jam dan jumlah sel darah meningkat
2.      Pemeriksaan ultrosonografi (USG )
Pemeriksaan ini dapat menggambarkan isi dari rahim seseorang wanita. Pemeriksaan USG dapat melihat dimana lokasi kehamilan seseorang, baik di rahim, saluran tuba, indung telur, maupun di tempat lain.
2.2 Diagnosa keperawatan
Kemungkinan diagnosis keperawatan yang muncul adalah sebagai berikut :
1.      Devisit volume cairan yang berhubungan dengan ruptur pada lokasi implantasi sebagai efek tindakan pembedahan.
2.      Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman nutrient ke sel.
3.      Nyeri yang berhubungan dengan ruptur tuba falopi, perdarahan intraperitonial.
4.      Kurangnya pengetahuan yang berhubungan dengan kurang pemahaman atau tidak mengenal sumber-sumber informasi.
2.3     Intervensi keperawatan
a.       Devisit volume cairan yang berhubungan dengan ruptur pada lokasi implementasi sebagai efek tindakan pembedahan
Kriteria hasil :
Ibu menunjukan kkestabilan/ perbaikan keseimbangan cairan yang buktikan oleh tanda-tanda vital yang stabil, pengisian kapiler cepat, sensorium tepat, serta frekuensi berat jenis urine adekuat.
Rencana intervensi
1.      Lakukan pendekatan kepada pasien dan keluarga
Rasional
Pasien dan keluarga lebih kooperatif
Rencana intervensi
2.      Memberikan penjelasan mengenai kondisi pasien saat ini
Rasional
Pasien mengerti tentang keadaan dirinya dan lebih kooperatif terhadap tindakan
Rencana intervensi
3.      Observasi TTV dan observasi tanda akut abdomen
Rasional
Paraameter deteksi dini adanya komplikasi yang terjadi
Rencana intervensi
4.      Pantau input dan output cairan
Rasional
Untuk mengetahui keseimbangan cairan dalam tubuh
Rencana  intervensi
5.      Pemeriksaan kadar HB
Rasional
Mengetahui kadar HB klien dengan perdarahan.
Rencana intervensi
6.      Lakukan kolaborasi dengan tim medis untuk penanganan lebih lanjut
Rasional
Melaksanakan fungsi independent
b.      Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman nutrient ke sel.
Kriteria hasil :
Menunjukan perfusi jaringan yang adekuat, misalnya : tanda-tanda vital stabil, membrane mukosa warna merah muda, pengisian kapilerbaik, haluaran urine adekuat, wajah tidak pucat dan mental seperti biasa.
Tindakan intervensi
1.      Awasi tanda vital, kaji pengisian kapiler, warna kulit/membrane mukosa, dasar kuku
Rasional
Memberikan informasi tentang derajat / adekuat perfusi jaringan dan membantu menentukan kebutuhan intervensi.
2.      Cacat keluhan rasa dingin, pertahankan suhu lingkungan dan tubuh hangat sesuai indikasi.
Rasional
Vasokontruksi menurunkan sirkulasi perifer. Kenyamanan pasien/ kebutuhan rasa hangat harus seimbang dengan kebutuhan untuk menghindari panas berlebihan.
3.      Kolaborasi dengan tim medis yang lain, awasi pemeriksaan lab :
Misalnya HB/HT
Rasional
Mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan pengobatan atau terhadap terapi.
c.       Nyeri yang berhubungan dengan ruptur tuba falopi, perdarahan intraperitonial.
Kriteria hasil :
Ibu dapat mendemonstrasikan teknik relaksasi, tanda-tanda vital dalam batas normal, dan ibu tidak meringis atau menunjukan raut muka yang kesakitan.
Rencana intervensi
Mandiri :
1.      Tentukan sifat, lokasi dan durasi nyeri, kaji kontraksi uterus hemoragi atau nyeri tekan abdomen
Rasional
Membantu dalam mendiagnosis dan menentukan tindakan yang akan dilakukan. Ketidaknyamanan dihubungkan dengan aborsi spontan dan molahidatosa karena kontraksi uterus yang mungkin diperberat oleh infuse oksitosin. Rupture kehamilan ektopik mengakibatkan nyeri hebat, karena hemoragi tersembunyi saat tuba falopi rupture ke dalam abdomen.
2.      Kaji stress psikologi ibu/ pasangan dan respons emosional terhadap kejadian
Rasional
Ansietas terhadap situasi darurat dapat memperberat ketidaknyamanan karena syndrome ketegangan, ketakutan dan nyeri
3.      Berikan lingkungan yang tenang dan aktivitas untuk menurunkan rasa nyeri intruksikan klien untuk menggunakan metode relaksasi, misalnya; napas dalam, visualisasi distraksi, dan jelaskan prosedur.
Rasional
Dapat membantu dalam menurunkan tingkat asietas dan karenanya mereduksi ketidaknyamanan.
Kolaborasi
4.      Berikan narkotik atau sedative berikut obat-obatan praoperative bila prosedur pembedahan diindikasikan.
Rasional
Meningkatkan kenyamanan menurunkan komplikasi pembedahan
5.      Siapkan untuk prosedur bedah bila terdapat indikasi
Rasional
Tingkatkan terhadap penyimpangan dasar akan menghilangkan nyeri
d.      Kurangnya pengetahuan yang berhubungan dengan kurang pemahaman atau tidak mengenal sumber-sumber informasi.
Tujuan :
Ibu berpartisipasi dalam proses belajar, mengungkapkan dengan istilah sederhana mengenai patofisiologi dan implikasi klinis.
Rencana intervensi
1.      Menjelaskan tindakan dan rasional yang ditentukan untuk kondisi hemoragia
Rasional
Memberikan informasi, menjelaskan kesalahan konsep pikiran ibu mengenai prosedur  yang akan dilakukan, dan menurunkan setres yang berhubungan dengan prosedur yang diberikan.
2.      Memberikan kesempatan bagi ibu untuk mengajukan pertanyaan dan mengungkapkan kesalah konsep
Rasional
Memberikan klarifikasi dari konsep yang salah, identifikasi masalah-masalah dan kesempatan untuk memulai mengembangkan keterampilan penyesuaian ( kooping )
3.      Diskusikan kemungkinan implikasi jangka pendek pada ibu atau janin dari keadaan pendarahan.
Rasional
Memberikan informasi tentang kemungkinan komplikasi dan meningkatkan harapan realita dan kerjasama dan aturan dan tindakan.
4.      Tinjau ulang implikasi jangka panjang terhadap situasi yang memerlukan evaluasi dan tindakan tambahan.
Rasional
Ibu dengan kehamilan ektropik dapat memahami kesulitan mempertahankan setelah pengangkatan tuba/ ovarium yang sakit.
2.4               Implementasi keperawatan
Implementasi merupakan tindakan yang sesuai dengan tindakan yang telah direncanakan, mencakup tindakan mandiri dan kolaborasi. Tindakan mandiri adalah tindakan keperawatan berdasarkan analisis dan kesimpulan perawat, dan bukan atas petunjuk data kesehatan lain. Tindakan kolaborasi tindakan keperawatan yang didasarkan oleh keputusan bersama seperti dokter atau petugas kesehatan yang lain.
2.5               Evaluasi keperawatan
Merupakan hasil perkembangan ibu dengan berpedoman kepada hasil dan tujuan yang hendak dicapai.









BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kehamilan ektopik adalah suatu kehamilan dimana sel telur yang dibuahi berimplantasi dan tumbuh diluar endometrium kavum uteri. Kehamilan ektopik dapat mengalami abortus atau ruptur pada dinding tuba dan peristiwa ini disebut sebagai Kehamilan ektropik terganggu.
Sebagian besar kehamilan ektopik terganggu berlokasi di tuba (90%) terutama di ampula dan isthmus. Sangat jarang terjadi di ovarium, rongga abdomen, maupun uterus. Keadaan-keadaan yang memungkinkan terjadinya kehamilan ektopik adalah penyakit radang panggul, pemakaian antibiotika pada penyakit radang panggul, pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim IUD (Intra Uterine Device), riwayat kehamilan ektopik sebelumnya, infertilitas, kontrasepsi yang memakai progestin dan tindakan aborsi. 
Gejala yang muncul pada kehamilan ektopik terganggu tergantung lokasi dari implantasi. Dengan adanya implantasi dapat meningkatkan vaskularisasi di tempat tersebut dan berpotensial menimbulkan ruptur organ, terjadi perdarahan masif, infertilitas, dan kematian. Hal ini dapat mengakibatkan meningkatnya angka mortalitas dan morbiditas Ibu jika tidak mendapatkan penanganan secara tepat dan cepat. 
Insiden kehamilan ektopik terganggu semakin meningkat pada semua wanita terutama pada mereka yang berumur lebih dari 30 tahun. Selain itu, adanya kecenderungan  pada  kalangan  wanita  untuk menunda kehamilan sampai usia yang cukup lanjut menyebabkan  angka  kejadiannya  semakin  berlipat  ganda. 
B.     Saran
1.    Perawat
Diharapkan perawat mampu lebih aktif dalam memberikan penyuluhan kesehatan tentang kehamilan ektopik terganggu.
2.    Mahasiswa
Agar mahasiswa/i diharapkan agar dapat lebih memahami dan mengerti dalam    memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan kehamilan ektopik terganggu.




DAFTAR PUSTAKA

Ayu, Ida Chandranita Manuaba, dkk. (2009). Kesehatan reproduksi Wanita. Jakarta. EGC
Mansjoer Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III, Jilid I. Media Aesculapius FKUI.
Prawirohardjo, Sarwono. 2006. Ilmu Kebidanan.Jakarta: Yayasan Bina Pustaka

















selamat membaca semoga bermanfaat 


    





























Tidak ada komentar:

Posting Komentar